Senin, 16 Agustus 2010

Kriya Keramik Elina Tembus Ekspor

BOSAN dengan bentuk dan motif keramik yang itu-itu saja? Mungkin kriya keramik Elina Farida (46) bisa menjadi pilihan. Kesan dinamis, unik, dan menarik menonjol dari karya-karyanya. Elina memang sengaja membuat keramiknya lain dari yang lain.
Sebagai lulusan jurusan keramik Seni Rupa ITB, Elina tidak mengambil jalan hidup sebagai seniman. Ia justru lebih tertarik mengembangkan kerajinan keramik. Visi misinya satu, menjembatani perajin autodidak dan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan formal seni.Pada 1996, Elina merintis usahanya seorang diri dengan berbekal 10 kg tanah liat. Karena peralatan yang terbatas, tak jarang ia menumpang membakar karyanya di tempat seorang teman. Awalnya, ia hanya membuat anting, kalung, dan bros.
Rupanya, karya Elina yang unik dan tidak pasaran menarik perhatian banyak pihak. Perlahan-lahan permintaan dan pesanan untuk membuat benda-benda seperti tempat lilin, hiasan dinding, dan alat lain pun berdatangan.Tingginya permintaan mendorong Elina untuk mulai serius menggarap usahanya pada 2001. Tak perlu waktu lama, hanya enam tahun, produk Elina pun berhasil menembus pasar Malaysia juga Dubai. Saat ini, di Malaysia Elina sudah memiliki pelanggan tetap, Islamic Galery.Diakui Elina, sebelum usahanya berkembang, ia sempat mengalami jatuh bangun. Tidak jarang respons pasar jauh dari harapan dan harus berulang kali mengubah desain sebelum akhirnya menuai respons positif. Namun, ia tidak letih berkreasi.
Sejak dua tahun lalu, ia melengkapi usahanya dengan divisi research and development (RD). Keberadaan RD rupanya menghantarkan pertumbuhan yang pesat terhadap usaha kriya keramiknya."Dalam perkembangannya, ternyata saya merasakan pentingnya RD bagi UKM. Mungkin awalnya terasa berat, apalagi jika memikirkan gaji dan biaya penelitian. Akan tetapi, yang saya rasakan dampaknya sangat besar," kata Elina saat ditemui di galerinya, Jln. LL.R.E. Martadinata No. 181, Bandung, Senin (15/2).Melalui RD, Elina bisa menelaah sejauh mana respons dan selera pasar. Di sisi lain, kreasinya pun jauh lebih beragam dan inovatif karena ditopang banyak ide dari berbagai orang dengan beragam latar belakang pemikiran.
"Kalau berpikir sendiri, ide terbatas," katanya. Padahal, lanjut Elina, kreativitas dan inovasi merupakan nyawa dari usahanya. Kedua hal itu pulalah yang menjadi kekuatan produknya untuk bisa menembus pasar dan menjadi tameng tangguh di tengah gempuran produk murah Cina."Sebenarnya apa yang kita takutkan dengan barang Cina? Produk kita bersaing. Mungkin harga sedikit lebih mahal, tetapi kualitas jauh lebih baik. Ini yang menjadi keunggulan produk lokal," tutur Elina.
Ia melepas produknya ke pasar lokal dengan harga mulai dari Rp 5.000 untuk aksesori dan Rp 50.000-Rp 500.000 untuk produk interior. Tableware dan aksesori interior menjadi produk yang paling digemari saat ini."Pasar lokal lebih mudah ditembus, respons bagus, dan dari segi harga sebenarnya lebih baik. Tipikal orang Indonesia kalau sudah suka, berapapun harganya pasti akan dibeli. Beda dengan pasar luar negeri. Mereka selalu meminta harga yang lebih murah dari pasaran di Indonesia," tuturnya.
Hal itu, lanjut Elina, terjadi karena buruknya image produk Indonesia di pasar global. Setiap pameran di luar negeri, tidak jarang pembeli menawar dengan harga murah. "Ini jadi PR pemerintah untuk mengangkat citra produk Indonesia di pasar global," kata Elina.Namun, bukan berarti tidak ada solusi. Untuk menyiasati agar harga tidak terlalu jatuh, Elina menjalin kerja sama dengan galeri seni di negara tujuan. Walaupun pesannya terbatas, ia bisa menjaga hargajual produk. (Rika Rachmawati/"PRrr)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar